Senin, 16 November 2015

Sinopsis

Novel sastra : Belantik ( Bekisar Merah 2)
Karya             : Ahmad Tohari

Pak Handarbeni yang siang itu mendapat telepon dari Pak Bambung, sedang tampak gelisah. Pasalnya Pak Bambung meminta Lasi, seorang bekisar yang sekarang ini menjadi istri muda Pak Handarbeni untuk menemaninya. Pak Handarbeni pun tak dapat menolak keinginan Pak Bambung. Meskipun bukan siapa-siapa namun dia sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pemerintah, terutama dalam masalah perekonomian. Pak Bambung memiliki banyak koneksi dengan para petinggi negara. Yang bisa saja membuat Pak Handarbeni kehilangan jabatannya sebagai Direktur sebuah PT. Hingga dia merelakan Lasi, bekisar kesayangannya jatuh dalam jeratan Pak Bambung. Lalu Pak Handarbeni menghubugi Bu Lanting, mucikari yang dulu mempertemukannya dengan Lasi. Agar dirinya mempersiapkan sebuah pertemuan antara Pak Bambung dengan Lasi.
"Sudahlah, jangan membuat dadaku bertambah sakit. Atur saja Lasi dan aturlah kencannya dengan si sialan itu. Selanjutnya aku tak mau tahu lagi. Aku hanya meminta laporan apabila semuanya sudah selesai. Dan jangan lupa waktumu hanya sampai sabtu pagi, tinggal empat hari lagi." ucap Pak Handarbeni.
"Ya Bos. Tenang saja dan teruslah cari duit untuk membeli bekisar baru. He-he-he. Bye-bye, Pak Han..." seru Bu Lanting dari sebrang sana.
Bu Lanting pun mempersiapkan segala sesuatunya. Mengajak Lasi ke Singapura dengan alasan berbelanja namun disana Lasi dihadapkan pada Pak Bambung yang berambisi memilikinya. Akhirnya konspirasi antara Pak Bambung, Pak Han, Bu Lanting diketahui Lasi.
Lasi merasa hidupnya tak utuh sebagai istri seperti di Karangsoga dulu bersama Darsa. Meski kenyataannya dulu dia dikhianati oleh Darsa. Darsa menghamili anak seorang dukun pijat. Lalu pikirannya berlalu dari Darsa ke Kanjat. Teman kecilnya yang selalu membela dirinya dulu dan selalu bersembunyi di balik badannya ketika bermain petak umpet. Lasi tersadar dari lamunannya dan kembali terpukul bahwa Handarbeni telah menceraikannya dan dirinya telah diserahkan pada Pak Bambung. Lasi seperti orang yang tak tahu tujuan. Dirinya seperti tergerak sendiri menuju Karangsoga. Disana ternyata Lasi ditakdirkan menjadi istri Kanjat meski secara siri. Kanjat pun menemani Lasi untuk berangkat ke Sulawesi dan tinggal beberapa bulan di sana untuk menghindar dari Pak Bambung. Namun pada saat Lasi dan kanjat hendak meninggalkan losmen, untuk melanjutkan perjalanan. Bu Lanting dan Mayor Brenges datang untuk membawa Lasi kembali pada Pak Bambung.
"Lasi tidak boleh ibu ajak pergi. Dia sudah menjadi istri saya. Kami sudah menikah."cegah Kanjat.
"Apa ? Kalian sudah menikah kampung , kan ?"kata Bu Lanting tajam.
"Kami sudah tahu semuanya dari orang-orang Karangsoga. Kamu jangan berani bilang sudah menikahi Lasi. Sebab kamu tidak bisa menunjukkan bukti surat nikah, kan ? Dan lihat, Pak Brangas membawa surat resmi untuk membawa Lasi ke Jakarta. Bila perlu, dengan paksa."
Hari-hari dilewati dengan penuh kesedihan di rumah besar yang diberikan oleh Pak Bambung pada Lasi. Sampai akhirnya dia menemukan semangat baru karena mendapati dirinya tengah mengandung anak Kanjat. Sampai akhirnya Pak Bambung mengetahui Lasi hamil dan menyuruh menggugurkan kandungannya. Namun Lasi tetap menolak. Dia telah berjanji akan menjaga anaknya itu meskipun harus mempertaruhkan nyawanya.
Tak berselang lama Bambung dinyatakan sebagai koruptor dan dilakukan pemeriksaan terhadapnya. Sehingga semua aset disita dan deposito di bank juga dibekukan. Tak terkecuali Lasi, yag kini tengah mengandung dan usia kandungannya telah lima bulan. Dia dijadikan saksi atas ulah Bambung. Sehingga menjadi tahanan sementara. Karna kabar ini Kanjat berusaha membebaskan Lasi dengan bantuan Blakasuta. Yaitu seorang pengacara yang dulu satu kampus denganbKanjat.
"Aku sungguh meng

Senin, 22 Juni 2015

Senandung Sendu

Mengering sudah kelopak ini
Tak sanggup lagi mengalirkan sungai kepedihan
Dunia pun tampak enggan mengikuti alur hidupku
Di mana dunia yang kupijak
Di situ menceritakan kepedihanku
Seorang yang kehilangan naungan orang tua
Tak ada lagi yang menaungi ku lagi
Tak ada hari kehangatan itu lagi
Semua hilanh dengan sekejap

Dunia yang dulu tampakkan senyumnya
Burung yang dulu alunkan senandung bahagia
Matahari yang dulu sinarkan kehangatan kasihnya
Kini...
Dunia murung
Burung enggan bersenandung
Matahari pun enggan bersinar

Aku tahu semua pasti kembali pada-Nya
Tapi mengapa eng-Kau panggil dia
Sebelum aku membahagiakannya
Jasa yang belum sempat ku balas
Dunia yang belum sempat kurengkuh untukmu
Ucapan maaf pun belum sempat terucap dari bibirku
Penyesalan pun hanya sia-sia untukku
Hanya sajak-sajak do'a
Yang bisa mengalun dari bibirku
Maafkan aq Tuhan...
AKu telah mengutuk takdir-Mu 

Selasa, 10 Februari 2015

DO'A SEDERHANA

Entah angin apa yang membawa bayangan itu kembali. Disaat mata ini mengatup tiba-tiba bayangan itu muncul, mengusik kedamaian jiwa yang tengah lelap dalam pembaringan. Sosok tua renta, dengan punggung membungkuk, terdapat lipatan di setiap sudut wajahnya, ukiran senyumnya yang tak begitu asing lagi. Iya, dia yang biasa kupanggil dengan sebutan kakek. Kakek kini muncul lagi di hadapanku, memberikan senyuman yang khas dari bibirnya dengan membelai rambutku. Ah, nyaman sekali aku di dekatnya. Ingin rasanya kutinggal disini melepas rindu yang lama terpendam. Sejenak aku merasakan kasih sayang itu lagi. Tapi, mengapa tiba-tiba bayangan itu sirna diterpa cahaya matahari yang cahayanya menyilaukan mata lalu langit dengan cepat menghitam dan bergemuruh. Dan untuk kesekian kalinya kenangan itu kembali muncul, sebuah tragedi paling pahit yaitu penghujung waktu kakek. Kini dia terkulai lesu di atas pembaringan, wajahnya memutih dan tak terlihat tanda-tanda kehidupan lagi.Raungan tangis tiba-tiba muncul di tengah berjubel pelawat, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku hanya menatap kakek dalam keheningan. Mengapa kakek tak beranjak dari tidurnya. Hingga ia dimandikan beramai orang, dibungkus dengan kain suci dan tak kunjung dia menggerakan satu sel pun dalam tubuhnya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi , hingga seorang yang kupanggil dengan sebutan ibu mengatakan padaku
"Nak, kakekmu telah pergi" ucapnya. Kala itu aku belum mengerti maksud ibu karena aku masih berusia 5 tahun.
"Kakek telah pergi ke rumah Allah " ucapnya lagi seraya membuatku mengerti dengan suara parau dan bibir bergetar.
"Aku ingin ikut bersama kakek, bu ?" tanyaku yang tampak begitu polos.
"Tidak bisa nak, biarlah kakekmu pergi" jawab ibu yang semakin tersedu dengan pertanyaan ku itu. Lalu entah mngapa lelehan air beningmelintas di pipiku.
Kereta hijau beroda manusia pun mulai menyusuri jalan. Setiap langkahnya diiringi dengan awan hitam yang menyelimuti hati setiap manusia yang menyaksikannya.Pun aku samapai di sebuah jalan, jalan sebrang yang dekat dengan srea pengebumian. Di tempat itu ibuku berhenti
"Dik, kita pulang ya ? " ucap ibu padaku yang seraya menggendongku.
"Aku mau ikut kakek bu." jawab ku pada ibu
"Kakek akan naik pesawat, dik. Kakekmu akan singgah di rumah Allah." ucap ibu yang mulai menenangkanku dari kegelisahan.
"Pulangnya kapan ?" tanyaku yang masih belum puas dengan jawaban ibu.
"Nanti juga pulang." jawabnya, namun kini terdapat sunggingan senyum di bibirnya yang tampak pucat.
"Iya bu" jawabku setengah lega, namun masih mengguratkan wajah ketidakpuasan akan jawaban dari ibu.
Kringg....Kring....Kring....alaram HP ku berdering, membangunkanku dari keterjagaanku dalam bunga tidur menuju dunia nyata. Perlahan kubuka kelopak seraya mengucek kedua bola mataku. Kuraba setiap sudut wajahku, dan apa ini mengapa wajahku basah. Lalu aku mulai mengingat-ingat lagi apa yang terjadi. Dan kenangan itu kembali muncul dalam kejapan mata. Lalu kutengok jam dinding di sudut ruanganku. ternyata waktu telah menunjukan pukul 4 pagi. Akupun beranjak dari pembaringan menuju kamar kecil seraya mengambil wudhu. Pun aku terjaga kembali dalam solatku. Dalam melantunkan lafadz dalam setiap gerak tubuhku kala solat. Ku haturkan sebuah do'a pada sang pemberi kehidupan. Dalam do'aku hanya satu yang kupinta, Tuhan pertemukan aku dan kakek kelak dalam alam keabadian.